Neni Yulianti Puisinya di Pikiran Rakyat 17 Oktober 2020 (Rindu Biru Matamu, Firasat Seorang Penyair, Udara Basah, dan Api yang Nyala di Matamu)
Puisi Neni Yulianti di koran Pikiran Rakyat tanggal 17 Oktober 2020 (Udara Basah, Firasat Seorang Penyair, dan Api yang Nyala di Matamu).
Terima kasih Pikiran Rakyat. Terima kasih Pak Gandi Sugandi telah direpotkan oleh saya untuk mengirimkan langsung korannya dari Bandung ke Cirebon karena saya belum sempat mencari korannya. Jazakallah...
RINDU BIRU MATAMU
Karya Neni Yulianti
Angin Malaka membawa gemuruh rindu
pada mata lautmu yang biru
ada debar liar berlari cepat
ke catatan sajakku.
Gelombang tenang meluruhkan sampah pikiran
pasir putih dan indahnya karang
menambah daftar wisata Tanjungpinang
lekat di ingatan pendatang
untuk merekam kenangan yang meriang
lidah menyentuh otak-otak dan gonggong
serasa nikmat dan tak mampu melaknat
dari asinnya hidup berbalur garam.
Di pantai Trikora, aku tak mampu melepas tubuh
dari lanskap pasir yang berbisik pelan
hingga kakiku meninggalkan cetakan kenangan
naik pompong dengan senyuman.
Kau tahu, aku tak ingin melepas ciumanku
pada biru matamu yang masih berlabuh
seperti denyar di dadaku menjelma angin, laut,
dan gemuruh rindu paling merdu
pada biru matamu yang syahdu
O, Trikora sayang! Rinduku berbilang.
Cirebon, 28 Juni 2020.
UDARA BASAH
Karya Neni Yulianti
Apa kau pernah tahu? Langit kamar selalu meneteskan udara basah
Lalu menitipkan ke dalam gelisah
Untuk kautukar dengan kenangan memar di batok kepalaku yang nanar.
Aku serpihan debu yang mengkilat di putih kain bantalmu
Seberapa tebal debu itu mencucuk hidungmu
Yang dilebarkan oleh hantu di dinding kamar bisu.
Tapi, kau tak pernah peduli
Kamar basah oleh waktu yang merayap di ubun-ubunku
Membekukan rindu di selimut tidurmu yang terbuat dari genangan air mataku.
Tidak. Tidak akan kubiarkan malam mencuri bulan
Memeras ingatan dan membaluri sekujur badan
Dengan ramuan kata-katamu penuh anggur, madu, juga empedu.
Dan. Kuharap batok kepalamu tidak pernah pecah oleh kenangan memar
Yang nanar oleh udara basah, di tembok bisu- nanah menggelepar.
Aku. Kaujadikan mataku buta di kamarku sendiri
Tergugu, menghidu napas malam yang sekarat di matamu
Lalu bulan melompat dari selimut
Untuk kaucium dengan nanah bergetah dan udara basah
Menggeliat di bantal, seprei, dan ranjang yang memar oleh kenangan:
Kamarku penuh asap yang kautiup dari bibir anggur, madu, dan empedu.
O, udara yang basah di kepalamu telah menggelepar di kamarku
Kepalaku pecah oleh waktu yang bernanah di malam seribu bunga,
Kecup aroma kamboja, juga kuburan luka menganga.
Apakah malam ini kau gelisah di kamarmu yang kecut dengan kepulan tubuhku?
Menyerpih bagai debu mengkilat di tembok kamar, penuh hantu bisu.
Cirebon, Agustus 2020.
FIRASAT SEORANG PENYAIR
Karya Neni Yulianti
Ia melambungkan doa ke udara
Sebagai simbol duka dan cinta
Antara tumpukan koran di beranda
Yang tak pernah habis dijamahnya.
Dan lelaki berwajah dingin
Tak butuh kendi berlapis perak
Demi penyair di kepalanya yang disulam imaji.
“Nyalakan lilin di matanya, Gilbran!
Kau kekasihnya. Seperti Tuhan
Menjaga mata air suci di lubang mata-Nya.”
Di dadaku kain menyerbukkan bunga puisi
yang menguar sepanjang musim:
Apakah kau sanggup membelah kata-kata?
Namun penyair di kepalanya itu
Tak sabar meruncingkan pena
Perlahan ia iris kalimat
Yang menancap di dadanya:
Perempuan yang hidup dari perkawinan puisi
Adalah catatan yang tak pernah habis dikuliti.
Cirebon, 9 Juni 2020
API YANG NYALA DI MATAMU
Karya Neni Yulianti
Lewat sunyi Tuhan berbicara padamu
Dengan tetesan embun di atas sajadah
Lalu malam menjadi bertuah
Bumi yang dulu patah
Telah dihidupkan oleh gemuruh doa
Juga api di matamu yang selalu menyala.
Cirebon, 13 Agustus 2020.
Akun Social Media Neni Yulianti:
Comments
Post a Comment