NENI YULIANTI, PUISI DALAM KORAN CAKRA INDRAMAYU (MUNAJAT PERAWAN SUNTI, BULAN PUTIH, SEBELUM AKU PERGI)
PUISI NENI YULIANTI DI CAKRA BANGSA TAHUN 2018
MUNAJAT PERAWAN SUNTI
Karya Neni Yulianti
Di gigir tambak udang, ia mensesap udara dingin bercampur asin
didekap debu penuh kelesik sambil menimang cahaya karam di ujung sabit
doa doa dilebur pada matanya yang kuyup.
Angin bertiup dari langit rendah, menyapa kapal pewaris keringat bapaknya
di tujuh mata air Gunung Jati, ibu-ibu memandikan perawannya
"Kau harus suci benar, sebelum malam menjelmakanmu ratu."
"Kupas biji padi lewat bibirmu dan pisahkan dari satu ke lainnya." Imbuhnya.
Tak ada jawab tapi angin mulai terkendali
malam Mulud di ujung purnama
sesaji dihidangkan bersama bulir padi Perawan Sunti sekuning warna tubuhnya yang jelita kerak pewaris darah tanah Caruban
seperti hujan mata tombak menuju pemberkatan Gong Sekati.
Bila waktu menjadikan mahkotamu
adalah pengabdian yang merayap ke hulu kota
di mana perih dan sesungging senyum kau timang dalam keropak tua yang berjejer di lumbung sejarah.
Cirebon, 26 Mei 2018.
BULAN PUTIH
Karya Neni Yulianti
Di sanalah, ia bersimpuh
pada bulan tua yang setia
ketika langit redupkan cahaya
kabut membentang sepanjang jalan
di bening mata teduh, sebuah bola kristal jatuh.
Adalah musim kemarau yang tinggi. Ia berbicara pada sunyi
ketika angin begitu angkuh
sibuk menghitung jarum waktu yang menusuk. Pandangan telak di atas harmoni. Derai gerimis meluruh sibakkan biru di dada.
Apakah ia tetap menegakkan sendinya yang ringkih
bila begitu banyak pena menusuk dadanya? Luka namun tak berdarah
Ya, dengarkanlah alunan napas yang masih mengalir syahdu
mungkin diam hanya sebuah pilihan
tapi Tuhan tak pernah diam
bulan putih tetaplah putih
walau begitu banyak derak awan hitam di sampingnya.
Cirebon, 11 Juni 2018.
SEBELUM AKU PERGI
Karya Neni Yulianti
Sejenak kembali aku berhenti
bersama desis gerimis yang tiba tergesa
pada subuh yang ranum
serupa laut, mengharu biru di dada
lalu menggenang di lembah yang pasrah.
Di atas sajadah yang basah
seluruh tubuhku adalah ketenangan
bagi yang meluruhkan daun air mata
dan menerabas kuluman gulma
lantaran, jarak kehidupan dan kematian hanya berjarak sekilan.
Adakah degup denyut di dadamu?
Ketika malam bertasbih menjamu nuzulul quran dan lailatul qadar, kekasihku
ataukah kau alpa pada nanar mata dunia
yang menyerbukkan sari kegelisahan tak berkesudahan. Hai jiwa jiwa yang tenang! Cumbulah aku penuh gelora sebelum tapak kakiku tanggal dari ingatan pada purnama kesekian.
Cirebon, 25 Mei 2018.
Penulis:
Neni Yulianti dengan nama pena Juli Yulia di akun Facebook dan instagram. Lahir di kota Cirebon pada bulan Juli 1987. Bekerja di perusahaan swasta CV. Citra Mandiri Bersama di bidang Instalatir dan Kontraktor Listrik, aktif di Dapur Sastra Jakarta, Komunitas Bisa Menulis, dan Forum Lingkar Pena Cirebon. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media online dan cetak di antaranya simalaba.com, wartalambar. com, koran Cakra Budaya Indramayu, antologi tunggal "Untaian Syair Sang Sajak Tepi" Cbk Publishing, "Rumah Seribu Jendela" Intishar Publishing, "Ombak-Ombak Tepi" Intishar Publishing, Nominator Krakatau Award 2017 Provinsi Lampung dalam buku "Hikayat Secangkir Robusta", Kemah Sastra Nasional Provinsi Banyuwangi 2018 dalam buku "Senyuman Lembah Ijen", Festival Sastra Bengkulu dalam buku "Soekarno, Cinta dan Sastra", Temu Penyair Asia Tenggara Padang Panjang 2018 dalam buku "Epitaf Kota Hujan".
Akun Social Media Neni Yulianti:
Comments
Post a Comment