REVITALISASI PENGHARGAAN TERHADAP PERBEDAAN

REVITALISASI PENGHARGAAN TERHADAP PERBEDAAN

POTRET NEGERI

Ada sejuta harap lindap di kelopak, saat menatap potret negeri. Yang mengalir dalam tubuhnya sebuah sungai pembatas, penuh warna terpecah. Dan meninggalkan lembaran hitam putih pada batang nasionalisme, perlahan mengelupas kulitnya disengat matahari.

Mungkin kita akan pilu, saat akar-akar serabut rapuh. Segala rindu pada pohon rimbun, yang di bawahnya  hidup beribu suku dan beratus etnik tersebar di pagar barisan zamrud khatulistiwa. Oh, Indonesia Raya.

Kembali menghela nafas, saat ormas anarkis sibuk bergerilya dari lorong-lorong sempit. Dengan jaket kebanggan dilumuri darah, dan insting thanatos yang mengakar di balik bukit egosentris. Mencurup dari satu tubuh ke tubuh lainnya, hingga redupkan denyut nadi,  menggigil tubuh dipercik perih kemarau.

Dan biji-biji gerimis bermain di sekujur dada,  saat sebuah harga tergadaikan. Mengganyang keanekaragaman, ditelan perbedaan kaum plural dan anti plural. Saling pecahkan cermin dan patahkan ranting di musim-musim.

Di sini, di bawah langit yang sama. Memungut cermin yang retak. Agar kabut tak semakin menghitam, air tak semakin keruh, dan rerumputan liar tak semakin lebat. Saling mengikat temali rasa persatuan dan menyalakan pesona lilin pada debar jantung. Mengeja tualang yang dibawakan paham Gandhi tentang  sebuah harga kemanusiaan, dan mengkaji ulang kitab sutasoma bahwa “ Semboyan Bhinneka Tunggal Ika  bukanlah pepesan kosong di siang bolong.”

Ya, bangkitlah nasionalisme! Tak usah risaukan decit pemakan hama atau desau angin belukar pemecah warna di rimbun belantara. Agar suara suara revitalisme kembali terekam pada potret negeri.

Cirebon, 14 September 2017.

Keterangan :

Ormas Anarkis    :  Organisasi Masyarakat atau kerumunan orang orang yang bertindak berlawanan dengan norma hukum.
Egosentris    :   Merupakan sifat menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat pemikiran / menilai segalanya benar dari sudut sendiri.
Kaum Plural   :  Mereka yang disebut menghargai perbedaan
Anti Plural   :  Mereka yang disebut menolak  menolak perbedaan
Insting Thanatos : Dorongan sifat yang agresif, destruktif dan melahirkan sikap membenci

KEPADA KAUM  ETHNIS

Engkau yang bermukim di lipatan masa
dengan  beribu gradasi warna
sublim mengalir pada tangan tangan tabah bumi
tumbuh di musim dalam tubuh kemanusiaan.

Tahulah aku, yang menguliti arti batang hidup
pada sekelumit penafsiran perbedaan, hingga percikkan pertikaian
Aku, tak pernah mau berkhianat kala penat mendekap tubuh
menyelusup di antara bayangan keniscayaan
sembunyi pada rasa yang berpendar, diorama mimpi.

Bila kita terlahir dari rahim yang sama
Maka, tak perlu ada dinding pembatas sebuah rasa
di antara sekerumunan cibiran yang menggelayut di wajah kelam
sebab
Tuhan mencipta warna dalam kemajemukan
mengalamatkan mimpi tentang kemakmuran.

Biarkan semilir angin membelai lembut bebatuan
mengabarkan ihwal secangkir harap pada hijau daun
agar tak lekas gugur kering dan menguning, terpanggang matahari
tak ada lagi kotak-kotak ethnis
yang menggantung di langit negeri.

Cirebon, 15 September 2017.

MUTIARA DI MATA NEGERIKU

Lihat dan rasakanlah
kilau dan hangat mutiara di mata negeriku
masih elok di antara desau angin
yang merangkak di ranting-ranting.
Sungguh, itu adalah sejumput harap pada kesunyian malam
saat ayunan waktu melompat dari celah bongkahan batu
membaca narasi silam
berdamai dengan hujan dan api
tempat di mana sejarah diolah dalam tungku peradaban.

Aku rasa, ada sesak di aliran nadi yang sempat beku
menggelinding kisah pertikaian syaraf
berseru-seru lantang “ mata hitam terlahir dari hati biru”
menggeliat pada irama jiwa, mencari jati diri atau sekedar rasa ingin berkorban.

Dan bila matahari masih menyapa pagi, negeriku
semoga  di wajahmu masih menyala kilau mutiara
kobarkan api semangat nasionalis berasas pancasila
agar bening embun yang lindap di kelopak
menyapa santun semesta dengan dendang syair
dalam kotak perdamaian.

Cirebon, 15 September 2017.

MATA BIRU

Masih ingatkah nadi yang berdenyut,  rindukan mata biru? Yang terlahir dari garis hitam di sekujur badan, lebam. Lalu di atas reruntuhan tembok perbedaan. Merinding bulu kuduk, tak mahir mengeja cuaca dan tak pandai meramalkan mantra ajaib. Dengan cekungan mata kecil, darahku mendidih saat kekata menghujani, aduhai nikmatnya.

Ruang dada terisi aroma legam. Menyimak dengan paksa catatan usang. Menyebar cemas pada  aliran pembuluh. Sumbat lidah hingga pahit dicecap. Loncat bergerak dari kolam-kolam ilusi, memindai sekelebat bayang hingga muntahkan air mata. Rajam naik pitam  di jantung berdegup.

Jejak yang tertinggal  pada gelombang ombak. Meluruhkan angan yang masih terlalu ranum untuk dipetik, berkumpul dengan lengket debu yang mengabu, aduhai nikmatnya. Sekali lagi berdiskusi dengan neraca lapuk, negoisasi kembali dengan nurani. Oh, perasingan di tanah basah.

Hai! Jalan yang terukur belumlah tunai. Segera redamkan semua gejolak.
Agar sampah tak berserak penuhi hati. Bebaskanlah dan kembali bersandar pada tangan-tangan tabah. Mengecup cinta yang mengakar kekar. Sejatinya mata biru tetap bermukim di atas naungan Tuhan. Damaikan lagi sungai pemikiran. Sebab, pecahan warna yang terpantul pada cuaca adalah kodrat yang perlu direvitalisasikan.

Cirebon, 15 September 2017.

SAJAK  PENGHARGAAN  DI ATAS PERBEDAAN

Di sepanjang bahumu, negeriku , terdapat kapal kapal berlabuh. Aromanya getir, sebab nasib yang menggelinding kian hari semakin menyusut dicerai ketidakadilan.

Masih terlalu asin ombak laut yang dikisahkan si pahit lidah. Ketika pertikaian karang memecah, hingga perbedaan mencuat di sudut sudut jiwa, kepala, tulang, atau hulu yang menikam dada.

Aku terlalu malas bersuara, sebab terlalu parau dilumat kemarau. Terjajah bibir membungkam seribu bahasa. Dingin sekujur tubuh digugur angin, mengigau dalam negeri yang masih kantuk. Abrasi moral tampak pada dinding-dinding kemanusiaan. Seketika tumpul, mengerdil bahkan samar. Terlelap dipeluk budaya kebarat-baratan.

Lontaran sejarah berkali-kali dibaca. Banyak menetas kicau burung terlahir dari cangkang yang berbeda-beda,  sebab tubuh lupa meletakkan diri hingga tersesat jalan. Dan tubuh berdarah-darah, warna merah tumpah sebelum senja memagutnya. 

Ya, walau sunyi, tintaku berjalan dan lantang bersuara pada surat kabar, media massa, atau lembaran putih. Inginku menaruh mahkota dan medali pada sosok agung, penabur damai di ladang hati. Menyemai kembali biji-biji pluralisme agar perdu di taman nasionalis.

Cirebon, 15 September 2017.

Penulis :

Neni Yulianti lahir pada tanggal 20 Juli 1987. Memiliki hobi menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya sudah pernah dipublikasikan di media online www.wartalambar.com dan simalaba.com
Karyanya sudah pernah masuk  47 Nominator Karya Puisi Dinas Pariwisata Lampung dan dibukukan dalam antologi puisi Hikayat Secangkir Robusta.



Comments

Popular posts from this blog

Install dan Mengaktifkan Bandicam Tanpa Watermark

NENI YULIANTI, PUISI DALAM KORAN CAKRA INDRAMAYU (MUNAJAT PERAWAN SUNTI, BULAN PUTIH, SEBELUM AKU PERGI)

RIRI SATRIA DALAM BUKU SATRIA SETENGAH ABAD PERJALANAN SANG POLYMATH